Perkembangan Fonologi, Morfologi, Sintaksis, Semantik, dan Pragmatik: Seiring dengan perkembangan bahasa sebagaimana yang telah diuraikan, berkembang pula penguasaan anak-anak atas sistem bahasa yang dipelajarinya. Sistem bahasa itu terdiri atas subsistem, yaitu: fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik.
1) Perkembangan Fonologis
Sebelum masuk SD, anak telah menguasai sejumlah fonem/bunyi bahasa, tetapi masih ada beberapa fonem yang masih sulit diucapkan dengan tepat. Menurut Woolfolk (1990) sekitar 10% anak umur 8 tahun masih mempunyai masalah dengan bunyi s, z, v. Hasil penelitian Budiasih dan Zuhdi (1997) menunjukkan bahwa anak kelas dua dan tiga melakukan kesalahan pengucapan f, sy, dan ks diucapkan p, s, k. Terkait dengan itu, Tompkins (1995) juga menyatakan bahwa ada sejumlah bunyi bahasa yang belum diperoleh anak sampai menginjak usia kelas awal SD, khususnya bunyi tengah dan akhir, misalnya v, zh, sh,ch. Bahkan pada umur 7 atau 8 tahun anak masih membuat bunyi pengganti pada bunyi konsonan kluster.Kaitannya dengan anak SD di Indonesia diduga pun mengalami kesulitan dalam pengucapan r, z, v, f, kh, sh, sy, x, dan bunyi kluster misalnya str, pr,pada kata struktur dan pragmatik. Di samping itu, anak SD bahkan orang dewasa kadangkala ada yang kesulitan mengucapkan bunyi kluster pada kata: kompleks, administrasi diucapkan komplek dan adminitrasi. Agar hal itu tidak terjadi, sejak di SD anak perlu dilatih mengucapkan kata-kata tersebut.
2) Perkembangan Morfologis
Afiksasi bahasa Indonesia merupakan salah aspek morfologi yang kompleks. Hal ini terjadi karena satu kata dapat berubah makna akibat dari proses afiksasinya (prefiks, sufiks, simulfiks) berubah-ubah. Misalnya kata satu dapat berubah menjadi: bersatu, menyatu, kesatu, satuan, satukan, disatukan, persatuan, kesatuan, kebersatuan, mempersatukan, dst.Zuhdi dan Budiasih (1997) menyatakan bahwa anak-anak mempelajari morfem mula-mula bersifat hapalan. Hal ini kemudian diikuti dengan membuat simpulan secara kasar tentang bentuk dan makna morfem. Akhirnya anak membentuk kaidah. Proses yang rumit ini dimulai pada periode prasekolah dan terus berlangsung sampai pada masa adolesen.
Berdasarkan kerumitan afiksasi tersebut, perkembangan morfologis atau kemampuan menggunakan morfem/afiks anak SD dapat diduga sebagai berikut:
- anak kelas awal SD telah dapat mengunakan kata berprefiks dan bersufiks seperti melempar dan makanan,
- anak kelas menengah SD telah dapat mengunakan kata berimbuhan simulfiks/konfiks sederhana seperti menjauhi, disatukan,
- anak kelas atas SD telah dapat menggunakan kata berimbuhan konfiks yang sudah kompleks misalnya diperdengarkan dan memberlakukan dalam bahasa lisan atau tulisan.
3) Perkembangan Sintaksis
Brown dan Harlon (dalam Nurhadi dan Roekhan, 1990) berkesimpulan bahwa kalimat awal anak adalah kalimat sederhana, aktif, afirmatif, dan berorientasi berita. Setelah itu, anak baru menguasai kalimat tanya, dan ingkar. Berikutnya kalimat anak mulai diwarnai dengan kalimat elips, baik pada kalimat berita, tanya, maupun ingkar. Menurut hasil pengamatan Brown dan Bellugi terhadap percakapan anak, memberi kesimpulan bahwa ada tiga macam cara yang biasa ditempuh dalam mengembangkan kalimat, yaitu: pengembangan, pengurangan, dan peniruan. Kedua peneliti ini sepakat bahwa peniruan merupakan cara pertama yang ditempuh anak, meskipun peniruan yang dilakukan terbatas pada prinsip kalimat yang paling pokok yaitu urutan kata.
Cara yang kedua yang ditempuh anak untuk mengembangkan kalimat mereka adalah pengulangan dan pengembangan. Anak mengulang bagian kalimat yang memperoleh tekanan, yaitu bagian kalimat kontentif, atau bagian kalimat yang berisi pesan pokok, sedangkan bagian lain dihilangkan secara sistematis. Oleh karena itu, bahasa anak disebut dengan istilah tuturan telegrafis, karena mengandung pengurangan bagian kalimat secara sistematis.
Dilihat dari segi frase, menurut Budiasih dan Zuchdi (1997) bahwa frase verba lebih sulit dikuasai oleh anak SD dibanding dengan frase nomina dan frase lainnya. Kesulitan ini mungkin berkaitan dengan perbedaan bentuk kata kerja yang menyatakan arti berbeda. Misalnya ditulis, menuliskan, ditulisi, dan seterusnya. Dari segi pola kalimat lengkap, anak kelas awal cenderung menggunakan struktur sederhana bila berbicara. Mereka sudah mampu memahami bentuk yang lengkap namun belum dapat memahami bentuk kompleks seperti kalimat pasif (Wood dalam Crown, 1992). Menurut Emingran siswa kelas atas SD menggunakan struktur yang lebih kompleks dalam menulis daripada dalam berbicara (Tompkins, 1989).
Pada umumnya anak SD mengenal bentuk pasif daripada preposisi “oleh” misalnya “Buku itu dibeli oleh Ali.” Dengan demikian, kalimat pasif yang tidak disertai kata oleh, mereka menganggapnya bukan kalimat pasif, misalnya “Saya melempar mangga (kalimat aktif) menjadi “Mangga saya lempar (kalimat pasif) bukan “Mangga dilempar oleh saya.” (Salah).
Anak biasanya menggunakan kalimat pasif yang subjeknya dari kata ganti/tak dapat dibalik dan kalimat pasif yang subjeknya bukan kata ganti/dapat dibalik secara seimbang. Namun, anak sering mengalami kesulitan dalam membuat kalimat dan menafsirkan makna kalimat pasif yang dapat dibalik (subjeknya bukan kata ganti). Menjelang umur 8 tahun mereka mulai lebih banyak menggunakan kalimat pasif yang tidak dapat dibalik (subjeknya kata ganti). Pada umur 9 tahun, anak mulai banyak menggunakan bentuk pasif yang subjeknya dari kata ganti. Pada umur 11-13 tahun mereka banyak menggunakan kalimat yang subjeknya dari kata ganti.
Penggunaan kata penghubung juga meningkat pada usia SD. Anak di bawah umur 11 tahun sering menggunakan kata “dan” pada awal kalimat. Pada umur 11-14 tahun, penggunaan “dan” pada awal kalimat mulai jarang muncul.
Anak sering mengalami kesulitan penggunaan kata penghubung karena dalam kalimat, seperti Saya menghadiri pertemuan itu karena diundang. Anak SD bingung membedakan kata hubung karena, dan, lalu dilihat dari segi urutan waktu kejadiannya. Susunan yang benar yakni, diundang dahulu baru pergi ke pertemuan. Oleh karena itu kadangkala ada anak TK yang mengucapkan “Saya sakit karena saya tidak masuk sekolah” padahal maksudnya “Saya tidak masuk sekolah karena sakit.”. Pemahaman kata penghubung “karena“ baru mulai berkembang pada umur 7 tahun. Pemahaman yang benar dan konsisten baru terjadi pada umur sekitar 10-11 tahun (Budiasih dan Zuchdi, 1997).
4) Perkembangan Semantik
Selama periode usia sekolah dan dewasa, ada dua jenis penambahan makna kata. Secara horisontal, anak semakin mampu memahami dan dapat menggunakan suatu kata dengan nuansa makna yang agak berbeda secara tepat. Penambahan vertikal berupa penambahan jumlah kata yang dapat dipahami dan digunakan dengan tepat (Owens dalam Budiasih dan Zuchdi, 1997).
Menurut Lindfors, perkembangan semantik berlangsung dengan sangat pesat di SD. Kosa kata anak bertambah sekitar 3000 kata per tahun (Tompkins,1989). Merujuk apa yang tercantum dalam Kurikulum yang berlaku saat ini, perbendaharaan kata siswa SD diharapkan lebih kurang 6000 kata. Pendapat yang relatif mendekati harapan Kurikulum adalah hasil temuan penelitian Slegers bahwa rata-rata anak masuk kelas awal dengan pengetahuan makna sekitar 2500 kata dan meningkat rata-rata 1000 kata per tahun di kelas awal dan menengah SD dan 2000 kata di kelas atas, sehingga perbendaharaan kosa kata siswa berjumlah 8500 di kelas VI (Harris dan Sipay, 1980).
Kemampuan anak kelas rendah SD dalam mendefinisikan kata meningkat dengan dua cara. Pertama, secara konseptual, yakni dari definisi berdasar pengalaman individu ke makna yang bersifat sosial atau makna yang dibentuk bersama. Kedua, anak bergerak secara sintaksis dari definisi kata-kata lepas ke kalimat yang menyatakan hubungan kompleks (Owens, 1992)
Pengetahuan kosakata mempunyai hubungan dengan kemampuan kebahasaan secara umum. Anak yang menguasai banyak kosa lebih mudah memahami wacana dengan baik. Selama priode usia SD, anak menjadi semakin baik dalam menemukan makna kata berdasarkan konteksnya. Anak usia 5 tahun mendefinisikan kata secara sempit sedang anak berumur 11 tahun membentuk definisi dengan menggabungkan makna-makna yang telah diketahuinya. Dengan demikian, definisinya menjadi lebih luas, misalnya kucing ialah binatang yang biasa dipelihara di rumah-rumah penduduk.
Menurut Budiasih dan Zuchdi (1997), anak usia SD sudah mampu mengembangkan bahasa figuratif yang memungkinkan penggunaan bahasa secara kreatif. Bahasa figuratif menggunakan kata secara imajinatif, tidak secara literal atau makna sebenarnya untuk menciptakan kesan emosional. Yang termasuk bahasa figuratif adalah: (a) ungkapan misalnya kepala dingin, (b) metafora, misalnya “Suaranya membelah bumi.”, (c) kiasan, misalnya “Wajahnya seperti bulan purnama.”, (d) pribahasa, misalnya “Menepuk air di dulang, terpecik muka sendiri.”
5) Perkembangan Pragmatik
Perkembangan pragmatik atau penggunaan bahasa merupakan hal paling penting dibanding perkembangan aspek bahasa lainnya pada usia SD. Hal ini pada usia prasekolah anak belum dilatih menggunakan bahasa secara akurat, sistematis, dan menarik.
Berbicara tentang pragmatik ada 7 faktor penentu yang perlu dipahami anak (1) kepada siapa berbicara (2) untuk tujuan apa, (3) dalam konteks apa, (4) dalam situasi apa, (5) dengan jalur apa, (6) melalui media apa, (7) dalam peristiwa apa (Tarigan, 1990). Ke-7 faktor penentu komunikasi tersebut berkaitan erat dengan fungsi (penggunaan) bahasa yang dikemukakan oleh M.A.K Halliday: instrumental, regulator, interaksional, personal, imajinatif, heuristik, dan informatif. Pinnel (1975) dalam penelitiannya tentang penggunaan fungsi bahasa di SD kelas awal menemukan bahwa umumnya anak menggunakan fungsi interaksional (untuk bekomunikasi) dan jarang menggunakan fungsi heuristik (mengunakan bahasa untuk mencari ilmu pengetahuan saat belajar dan berbicara dalam kelompok kecil).
Dilihat dari segi perkembangan kemampuan bercerita, anak umur 6 tahun sudah dapat bercerita secara sederhana tentang sesuatu yang mereka lihat. Kemampuan ini selanjutnya berkembang secara teratur dan sedikit demi sedikit. Mereka belajar menghubungkan kejadian tetapi bukan yang mengandung hubungan sebab akibat. Kata penghubung yang digunakan: dan, kemudian.
Pada usia 7 tahun anak mulai dapat membuat cerita yang agak padu. Mereka sudah mulai mengemukakan masalah, rencana mengatasi masalah dan penyelesaian masalah tersebut meskipun belum jelas siapa yang melakukannya.
Pada umur 8 tahun anak menggunakan penanda awal dan akhir cerita, misalnya “Akhirnya mereka hidup rukun”. Kemampuan membuat alur cerita yang agak jelas baru mulai diperoleh anak pada usia lebih dari delapan tahun. Pada umur tersebut barulah mereka dapat mengemukakan pelaku yang mengatasi masalah dalam cerita. Anak-anak mulai dapat menarik perhatian pendengar atau pembaca cerita yang mereka buat. Struktur cerita mereka semakin menjadi jelas.
Kaitannya dengan gaya bercerita antara anak laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan. Anak perempuan menganggap bahwa peranannya dalam percakapan adalah sebagai fasilitator, sehingga mereka menggunakan cara yang tidak langsung dalam meminta persetujuan dan lebih banyak mendengarkan, misalnya “Ibu tidak marah, kan?”. Sementara itu, anak laki-laki menganggap dirinya sebagai pemberi informasi, sehingga cenderung memberitahu.
Anak laki-laki biasanya kurang berbicara dan lebih banyak berbuat namun kadangkala bertindak keras dan percakapan digunakannya untuk berjuang agar tidak dikuasai oleh anak lain atau kelompok lain. Anak perempuan cenderung banyak bicara dengan pasangan akrabnya, dan saling menceritakan rahasianya, masalah pribadinya dikemukakan kepada teman. Temannya biasanya menyetujui dan dapat memahami masalah tersebut (Owens,1992).